Apa hukum onani/masturbasi bagi pria dan wanita?
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang
telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani
dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada
rinciannya sebagai berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya
dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal,
karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak
wanita yang dihalalkan oleh Allah l.1 Demikian pula hukumnya bagi wanita
dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak,
red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan
hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis
ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan
hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini
adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i t, dan
pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad t. Pendapat ini yang
difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu
Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah.
Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal
yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa
mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang
melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang
sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar
kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud z:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu
menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan
kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan
syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin t berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah
Rasul n bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya
onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah n
akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena
onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan
pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah
berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah
hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah
diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam At-Talkhish Al-Habir (no.
1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah
Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr c:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ
الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa)
dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama
orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang
menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu
Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan
Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah]
hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu
kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam
perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan?
Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi
toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang
wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang
diajarkan oleh Rasulullah n untuk meredakan/meredam syahwat seseorang
yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud z
di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad
t memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang
dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus
diberi persyaratan seperti kata Al-Albani t dalam Tamamul Minnah (hal.
420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir
terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan
Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi n), yaitu sabda Nabi n kepada kaum
pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk
menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang
memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk
melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm t dalam
Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar
memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya,
padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya
sebagai adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau
berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah t berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan
onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau
untuk mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara
mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan
onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t
mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah l membimbing para pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga
diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan
kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku
maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan
dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena
hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan
dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang
dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah
pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7
dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani
termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena
melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara
suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang
diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah dosa
besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa
dijadikan hujjah. Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ
الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada
hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata
kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang
yang masuk ke dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang pun yang
menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’
Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat
dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk
mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita)
dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat
melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t
mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama
mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama
mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani
dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan
kepala dzakar ke dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain
istri dan budak wanita yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam
hal ini adalah pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang
setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar berhenti dari
perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah,
dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab
Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang
diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz t dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk
(tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat
dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat
membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena
tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat
yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah
menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta
memohon ampunan Allah l. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah
pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman)
yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari
perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.